“Andaikan Yesus Lahir di Jaman Now
Oleh: Fx Moniyanto (Ketua Bidang Kerasulan Khusus DPP Salib Suci)


Pengantar

Beberapa tahun lalu, masih di masa Natal, saya pernah mengikuti perayaan ekaristi di paroki Santo Alfonsus de Liguori Nandan, yang terletak di jalur perempatan Tugu menuju Monumen Jogja Kembali. Letaknya di sisi kiri jalan, kurang lebih limaratus meter sebelum monumen. Yang menarik perhatian saya sepanjang mengikuti misa kudus adalah ornamen yang berada di sisi kanan altar berupa bentangan jalan layang yang terbuat dari kardus dan styrofoam. Di bawah “jembatan layang” itulah terbaring “bayi Yesus didampingi bunda Maria dan bapa Yosef” tanpa patung gembala maupun domba, sapi atau hewan seperti layaknya “kandang Natal” pada umumnya. Yang menemani “keluarga kudus Nazareth” adalah tumpukan barang-barang bekas yang pantas dirombengkan.


Natal Old dan Natal Now

Old. Yesus telah datang mengunjungi umat manusia kira-kira dua ribu tahun lalu. Memori yang senantiasa “menancap” di benak kita sebagai yang beriman kepada Yesus adalah proses kelahiran-Nya yang memprihatinkan dan mengenaskan. Malam yang dingin, bau kotoran hewan dan kandang atau gua yang kumuh menjadi gambaran tempat kelahiran-Nya yang seadanya. Situasi mendesak dan kondisi Maria-Yosef yang terbatas-sederhana, bahkan miskin; Apalagi sedang panik dan tergopoh-gopoh menghindari kejaran Herodes,  mau tidak mau mereka harus menerima keadaan, Maria harus melahirkan di kandang hewan. Situasi dan kondisi inilah yang menjadi simbol betapa kelahiran Yesus saat itu sungguh memprihatinkan dan miris.

Now. Inilah fakta yang mesti dihadapi: Kelahiran Yesus layak disambut hingar-bingar umat manusia dengan berbagai asesoris yang kadang justru menimbulkan kontroversi. Natal menjadi kesempatan dan sarana adu peruntungan-bisnis yang menjanjikan. Kelahiran-Nya menjadi simbol jor-joran adu prestasi dan prestise untuk menjadi yang paling “wah”, bisa menjadi nominasi, bahkan sarana masuk MURI. Berbagai ritel menawarkan aneka diskon dan kemudahan-kemudahan saat menyambut Natal. Natal seolah baru bermakna ketika dihadirkan Sinterklas serta pohon cemara dengan berbagai pernik dan kerlap-kerlip. Kelahiran-Nya sepertinya harus disambut dengan karpet merah dan iringan lagu “Jingle bells” serta “dresscode” merah menyala dan pesta-pora di hotel atau resto mewah. Ini baru natal yang sesungguhnya.  


Natal Jaman Now yang Inspiratif

Adanya berbagai generasi umat manusia dengan berbagai latar belakang budaya dan kepentingannya mengindikasikan bahwa kelahiran Yesus tetap dinantikan dan disambut dengan antusias oleh berbagai lapisan umat-Nya. Keberadaan manusia dalam berbagai generasi dan tradisi menyadarkan kita bahwa dalam situasi dan kondisi apa pun Yesus tetap berkenan lahir, hadir dan menyatu dengan umat-Nya.

Ornamen bayi Yesus di kolong jalan layang hendak membuka mata hati kita bahwa pesan karya keselamatan Tuhan melalui simbol kelahiran Yesus merupakan kebutuhan umat manusia, siapa pun, dimana pun, dan kapan pun manusia ada. Kolong jembatan identik dengan identitas tunawisma. Identik pula dengan kelahiran Yesus pada waktu itu. Maka Mat 25:40 hendak menegaskan, “…Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”  Ungkapan yang ditulis Mateus ini benar adanya. Tiap generasi kehidupan manusia pasti ada berbagai lapisan masyarakat, termasuk orang-orang yang paling hina. Bayi Yesus di kolong jembatan hendak mengabarkan dan mewakili adanya realitas ini. Kolong jembatan menjadi istana sesungguhnya Kerajaan Allah yang hadir di jaman now. Masa dimana suasana dan situasi kehidupan sosial masih diwarnai adanya subyek yang membutuhkan perhatian dan penanganan secara khusus. Menjadi tujuan adanya bantuan sosial; menjadi obyek demonstrasi yang menuntut peningkatan kesejahteraan sosial. Menjadi obyek penipuan demi kepentingan politik, dengan dalih akan dibuatkan KTP dan dijanjikan menjadi tempat tinggal permanen. Berbagai inspirasi atas dasar momen Natal ini tentu akan menjadi sangat viral ketika di era gadget ini ada komentar, “Hai dunia gembiralah….Ternyata Yesus lahir di kolong jembatan, bukan di palungan… Sungguh, ini bukan hoax…”


Yesus Semayam di Smartphoneku

Berkiprah di jaman now ibarat hendak memasuki hutan yang di pepohonannya bergelantungan aneka gadget dengan aneka merek, aneka spesifikasi, aneka bentuk dan ukuran, aneka warna dan harga. Semuanya menawarkan promosi dan kemudahan. Perkara tertarik atau tidak, tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Jika terus mendongak memperhatikan yang bergelantungan tentu orientasi perhatian kita tertuju pada bagaimana kita menyikapi gadget yang kita punya yang tiba-tiba menjadi nampak jadul. Gadget seolah menjadi simbol eksistensi dan status, sekaligus menjadi kebutuhan pokok, mengalahkan kebutuhan lain, termasuk kebutuhan rohani.

Namun dalih dan argumen yang menggema adalah, kita tidak perlu kawatir tidak bisa ke gereja karena gereja ada di genggamanku. Kita bisa jadi lupa bahwa Gereja adalah kumpulan umat beriman yang saling memfasilitasi untuk berdoa-beribadat, bersosialisasi dan berkomunikasi satu sama lain dalam iman. Pastoral pelayanan tidak bisa digantikan dengan adanya smartphone, meskipun bisa digunakan sebagai sarana komunikasi. Karya pelayanan adalah keterlibatan hati dan bersedia berkorban serta berbagi, bukan mencari yang praktis. Kita juga paham bahwa gadget  dimungkinkan dijejali aneka aplikasi alkitab elektronik, bermacam renungan dari berbagai sumber; Gambar-gambar rohani yang indah dan liturgis, video kisah rohaniah inspiratif, dan banyak lagi tawaran yang mengarahkan hidup kita untuk menjadi lebih baik dan lebih suci. Benarkah semua itu inspiratif? Tidakkah itu sekedar asesoris yang kita coba share-kan ke rekan-rekan, seolah kita adalah kepanjangan Tangan Tuhan untuk mewartakan kabar sukacita? Tak jarang hal-hal itu kita jadikan status sebagai gambaran identitas bahwa kita adalah sungguh-sungguh pengikut Yesus, sekaligus hendak menegaskan bahwa “bagiku setiap hari adalah Natal”? Identitas kita seolah “hanya” diukur oleh seberapa sering dan cepatnya mengunggah status terkini dan “terbobot” dibanding rekan lain. Padahal materi itu sekedar “copy n paste”.  Argumen ini benar jika yang dipahami adalah sebatas bahwa Yesus senantiasa ada bersamaku karena Ia bersemayam di Smartphoneku, sementara belum di hatiku.

“Identitas kita seolah hanya diukur oleh seberapa sering dan cepatnya mengunggah status terkini dan terbobot.”


Refleksi Teologis

Makna yang  bisa kita petik adalah seperti ungkapan Paulus melalui suratnya kepada umat di Kolose, “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil …” (Bdk. Kol 3:15). Gagasan pokok perikope ini, yang menjadi tema natal nasional 2017, jelas hendak menyatakan bahwa damai sejahtera itu harus bersemayam dan memerintah dalam hatiku, bukan di dalam smartphoneku. Ini sekaligus menyikapi situasi Now yang sarat dengan berbagai tawaran dan kepentingan, terlebih momen Natal yang dijadikan komoditas politik, penggalangan dana maupun bisnis. Tuhan hadir bukan lagi dilihat sebagai Sang Pembawa keselamatan namun sengaja dibelokkan menjadi sarana untuk mencari selamat bagi eksistensi identitas, urusan bisnis maupun status sosial. Rangkaian aneka pembangunan infrastruktur yang gencar dan menyeluruh tetap menyisakan kolong-kolong jembatan yang mencerminkan adanya hunian semi permanen. Kita, kata Paulus sekali lagi,  juga diperintah dan dipanggil untuk membawa damai sejahtera menuju dan berkunjung ke kolong-kolong itu seraya menyapa-menyampaikan “bingkisan”. Di saat yang sama para penghuninya, diiringi musik gitar tua, sayup-sayup berdendang, ”…Ma…lam ku…dus….” Sementara penghuni lainnya menyahut, “Ah….itu lagi, itu lagi….Hoax ah!”

Yesus Lahir di Kolong Jembatan Layang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *