Judul artikel ini mungkin terasa janggal namun unik. Penulis terinspirasi dengan gagasan ’three in one’ seperti praktik aturan lalu-lintas di Jakarta: ’dalam satu mobil minimal harus ditumpangi oleh tiga orang pada jam-jam sibuk terutama di jalan raya’. Tak kurang akal, guna menyiasati peraturan lalu-lintas tersebut spontan menjamur penjaja jasa penumpang ’ketiga’ dari rakyat jelata. Lalu, apa kaitannya dengan judul artikel ini?
Sebentar lagi kita akan memperingati kembali hari raya NATAL, kelahiran Yesus Kristus di tengah umat di dunia. Sungguh misteri iman yang sulit dipahami dan diterima akal sehat namun telah terjadi dan menjadi ’jalan, kebenaran dan hidup’ (Yoh 14:6) bagi umat kristiani hingga kini dan selamanya. Yesus dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria (syahadat singkat) dan tinggal di antara kita. Pengurbanan kasih sejati dan abadi ini tentu bersumber dari ALLAH Tritunggal Mahakudus.
Bila kita renungkan lebih jauh dan dalam, misteri kasih Keluarga Kudus dan Tritunggal Mahakudus ini sungguh tak terperi namun hanya bisa kita imani dan alami hingga saat kini sepanjang masa. Persoalannya, apakah kita peka terhadap tanda-tanda kasih Allah yang terus menyentuh hati insani kita setiap saat di manapun kita berada? Sifat Allah yang transenden (menembus relung hati) dan imanen (tinggal di hati) tentu tidak bisa kita pungkiri. Kita hanya bisa berserah diri atas keterbatasan diri manusiawi untuk mohon selalu diampuni dari dosa dan disucikan oleh Tuhan.
Natal bagi Kita
Siklus hidup manusia ini hanya berkisar antara lahir-hidup-mati. Manusia terlahir atas kehendak Allah melalui hubungan kasih antara dua insan sejoli dan Tuhan. Pihak ’ketiga’ hadir merupakan buah relasi kasih antara Allah dan manusia. Setelah lahir manusia masih membutuhkan kasih untuk hidup, bukan ditelantarkan atau bahkan ’dibunuh’ sebelum lahir (aborsi). Otomatis, sudah merupakan kewajiban pasutri (pasangan suami-isteri) sebagai ibu dan bapak untuk merawat anak dengan kasih hingga dewasa secara jasmaniah dan rohaniah. Akhirnya kelak, Tuhan akan memetik kembali buah relasi kasih insani dan ilahi dengan memanggil anak manusia kembali dalam pangkuan dan pelukan kasihNya.
’Lahir’ sebetulnya merupakan hasil pertautan antara ’kedua belah pihak’ yang berhubungan dan menyatu. Kedua belah pihak tidak hanya dibatasi pada hubungan antara dua orang, dalam diri sendiri pun ada pihak ’ego’ (diri pribadi) dan ’alter ego’ (diri yang lain atau mitra diri) yang saling berinteraksi. Bahkan ada pepatah yang sudah kita kenal dan ekstrim menyatakan bahwa ’musuh yang paling besar bukan orang lain namun terutama diri sendiri’. Artinya, sumber kedamaian hati terutama bersumber dari diri sendiri.
Mari kita simak kembali kisah kelahiran Yesus (Luk 1:26-38). Pada awal mulanya Maria terkejut ketika mendengar salam dan kabar gembira dari malaikat Gabri-el (=Allah adalah pahlawanku, Majalah Hidup, Deshi Ramadhani, 29 Sepetember 2009). Lalu, Maria bertanya dalam hatinya, apakah arti salam itu? Setelah itu, malaikat Gabriel menjelaskan arti salam itu dan meyakinkan kepada Maria bahwa: ”Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus (=Juru Selamat)”. Maria masih penasaran dan bertanya lagi: ”Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Malaikat menjawabnya: ”Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah”. Selanjutnya Maria hanya bisa berserah diri dan menanggapi kasih karunia Allah ini dengan berujar kepada malaikat Gabriel: ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”.
Demikian dialog kasih yang indah dan penuh kerendahan hati antara Allah dan Maria melalui utusan malaikat Gabriel. Selain berinteraksi dengan Allah melalui malaikat Gabriel, Maria juga mengalami pergolakan batin yang berkecamuk dengan diri sendiri, penuh keterkejutan dan keraguan, apakah hal itu mungkin terjadi? Kata malaikat Gabriel: ”Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” (Luk 1:37), seperti dikisahkan tentang Elisabet sanak saudara Maria yang sedang mengandung seorang anak laki-laki (Yohanes pembaptis) pada hari tuanya dalam kondisi mandul.
Selanjutnya, bagaimana dengan kesediaan Yusuf untuk menjadi suami Maria dalam kisah kelahiran Yesus Kristus, Raja Juru Selamat (Mat 1:18-25)? Pada waktu Maria menerima kabar dari malaikat Gabriel, status hubungan Maria-Yusuf masih tunangan, sebelum hidup sebagai suami-isteri. Hati Yusuf sempat gundah dan bersikap ragu-ragu. Bahkan ”Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: ”Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus”. ”Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya”.
Keputusan Maria dan Yusuf untuk menerima kasih karunia Allah dalam perutusan atas penyelenggaraan Ilahi ini merupakan hasil perwujudan dari kehendak bebas manusia terhadap kehendak Tuhan. Sikap batin Maria yang rendah hati dan bersahaja dalam menanggapi panggilan Allah tersebut patut kita teladani. Selain itu sikap batin Yusuf yang selalu siap sedia untuk melakukan perintah Tuhan dengan segala risikonya juga patut kita ikuti. Setelah Maria dan Yusuf berdamai dengan diri sendiri, Maria dan Yusuf bersatu padu untuk melaksanakan tugas perutusan dan panggilan Ilahi sembari terus merenungkan, meresapi dan mengalami cinta kasih Allah melalui kelahiran Yesus Kristus yang penuh misteri Ilahi.
Kasih dalam Keluarga
Sama halnya dengan pasutri (pasangan suami-isteri) Maria-Yusuf, setiap pasutri juga dipanggil untuk saling mengasihi bersama Allah. Dengan demikian selalu ada tiga ’pihak’ yang terkait di dalamnya. Pada hakikatnya kasih merupakan relasi ’segitiga’ yang tidak bisa terlepas satu sama lain. Dalam konteks keluarga, ’trio kasih’ yang dimaksud harus selalu melibatkan hubungan kasih yang harmonis antara isteri dan suami serta Allah. Dalam lingkup paroki, hubungan ’trio kasih’ seyogyanya harus dijaga dan ditingkatkan pula melalui hubungan kasih yang harmonis antara imam, umat dan Allah. Dengan kata lain ’trio kasih’ merupakan perwujudan ’three in love’.
Dengan demikian buah kasih akan tampak nyata, bermutu tinggi dan kekal-abadi dalam perbuatan kasih seperti yang telah disabdakan: ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (I Kor 13:4-7).
Buah kasih tersebut sudah cukup jelas, tinggal bagaimana dipraktikkan dan diwujudnyatakan. Kenyataannya memang tidak semudah diucapkan namun membutuhkan perjuangan batin dalam pergolakan diri yang penuh dengan konflik kepentingan. Kadang tersadar sejenak, tak lama kemudian jatuh kembali dengan kebiasaan buruk (misal egois), itu wajar dan sangat manusiawi. Konsekuensinya, hubungan kasih antara isteri dan suami dalam berkeluarga dan berumahtangga memang harus selalu diperbaharui meski sudah bertahun-tahun menikah. Banyak media pengembangan untuk memperbaharui dan meningkatkan relasi pasutri dan keluarga dengan mengikuti program pendampingan dan penyuluhan keluarga yang diselenggarakan oleh Seksi Keluarga Paroki Salib Suci, bekerjasama dengan seksi lain dan kelompok kategorial.
Tanda-tanda Kasih
Trio Kasih tidak sama dengan ’cinta segitiga’ namun ’segitiga cinta’. Bukan seperti banyak terjadi dengan ’perselingkuhan’ dalam keluarga, antara isteri dan suami yang mencari pihak ketiga sebagai alternatif cinta. Tidak hanya perselingkuhan jasmaniah, dalam perkawinan katolik pantang pula untuk berselingkuh secara batiniah sekalipun. Oleh karena prinsip segitiga cinta adalah mengandalkan kesetiaan lahir-batin antara isteri dan suami, seperti fungsi segitiga pengaman dalam lalu lintas. Diharapkan melalui kejujuran hati dan pertobatan batin melalui dialog kasih antara isteri dan suami bersama Allah secara terus menerus dan berkelanjutan, akan diperoleh buah kasih yang berkelimpahan tidak hanya secara material namun terlebih spiritual.
Media teknologi masa kini melalui internet seperti ’demam’ chatting dan face-book yang sedang marak dan banyak orang yang ketagihan, patut diwaspadai karena dapat menimbulkan dampak perselingkuhan dalam dunia maya (virtual unfair). Media teknologi memang berkembang pesat dan patut disyukuri namun perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin hanya untuk meningkatkan mutu relasi.
Jelas sudah tolok ukur buah perwujudan trio kasih adalah kedamaian sejati, bukan perseteruan semu atau bersikap damai tapi gersang. Dalam arti, berseturu hanya demi harga diri dan tidak rela mengampuni, atau hanya berbasa-basi untuk mengelabui diri. Ini semua bukan buah trio kasih yang sejati, namun termasuk penyalahgunaan kasih semu yang cenderung merusak hubungan dan tidak langgeng relasinya. Bahkan dalam trio kasih kristiani, tidak hanya diajarkan sebatas pada cinta ’eros’ (nafsu lahiriah) semata namun lebih jauh lagi yaitu cinta ’agape’ (pengurbanan kasih). Sebagaimana Yesus sendiri telah ajarkan: ”Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5:44).
Natal di Hati
Semoga sabda TUHAN terlahir kembali dalam sanubari kita di tengah hiruk pikuk dunia dan duka nestapa dalam hidup ini. Sejak dikandung ibu, anak manusia sudah mengalami derita dan terlahir papa. Maria-Yusuf juga mengalami penderitaan yang tidak sedikit dan serba sulit selama mengandung dan melahirkan Yesus di kandang Betlehem. Namun dengan kerendahan hati dan sikap tegar Maria-Yusuf bersekutu dan setia melaksanakan perintah Tuhan hingga tuntas dan pamungkas dengan segala risiko yang harus ditanggung bersama. Alhasil, Maria pantas dan layak diangkat ke surga dan menerima mahkota surgawi sebagai Bunda Allah (Theotokos) dan Tetap Perawan (Pathenos) (Mawass, Edisi 3, Oktober 2009). Sementara itu Yusuf sudah layak dan sepantasnya pula untuk dinobatkan sebagai orang kudus (Sancto) yang telah menjaga keluarga kudus Nazaret.
Kehidupan pasutri masa kini dalam keluarga juga tak terelakkan dengan perkembangan dan tantangan jaman yang makin ’gila/edan’. Saatnya kini setiap pasutri diuji untuk hidup makin suci dalam membina dan mengembangkan relasi kasih dengan istri/suami dan anak dalam keluarga melalui dialog yang terbuka dan penuh persahabatan. Demikian pula prinsip trio kasih dapat diterapkan dan terus dikembangkan dalam lingkup pastoral antara imam, umat dan Allah. Sebagaimana telah disepakati bersama (Pacta Sunt Servanda) dalam rekoleksi Pengurus Pleno DPP (Dewan Pastoral Paroki) Salib Suci (18-19 April 2009 di Graha Wacana Ledug Tretes) bahwa kunci keberhasilan penggembalaan umat adalah Komunikasi, Koordinasi, Komitmen (3K) yang dilandasi dengan pengurbanan kasih.
Perjuangan trio kasih tak ’kan pernah kenal lelah dan henti. Hanya Tuhan yang akan menyempurnakan dan layak menerimakan mahkota surgawi kepada setiap pasutri yang setia dan tulus mengurbankan diri demi kasih kepada isteri/suami dan anak serta sesama dalam persekutuan kasih. Amin. ( A.J. Tjahjoanggoro )