
Setiap manusia pasti pernah berbuat salah karena manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa (konkupisensi). Berdampingan dengan itu, ketika manusia berbuat salah, maka selalu ada perasaan berdosa dalam diri manusia atau dengan kata lain penyesalan. Ketika ada penyesalan maka itu permulaan untuk menuju pertobatan. Yesus bersabda “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” (Mrk 1:15)
Lalu bagaimana seseorang dapat diampuni dosanya? Kita sebagai manusia percaya hanya Allah yang mampu mengampuni dosa setiap manusia. Tetapi dalam kenyataan sekarang sebagai anggota Gereja Katolik, kita mengetahui bahwa seorang imam dapat mengampuni dosa manusia.
Apakah pengajaran Katolik melenceng dari Kitab Suci?
Tidak, dalam Injil tertulis dalam Yoh 20:23 “Terimalah Roh Kudus .. Jikalau kamu mengampuni dosa orang , dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Hal ini dikatakan Yesus kepada murid-Nya. Dengan kata lain Allah memberikan wewenang kepada para murid-Nya untuk mengampuni dosa manusia. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Hal itu terjadi karena kebaikan kasih dan karunia dari Allah yang memberikan sakramen tobat. Pemberian wewenang Allah kepada orang-orang pilihan amat sangat banyak tercatat dalam Alkitab. Pemberian kuasa pada Adam atas makhluk hidup, hingga di zaman Yesus pemberian kuasa mengikat dan melepas (Mat 16:18-19) adalah contoh-contoh dimana manusia boleh menerima sesuatu yang melebihi apa yang seharusnya dimilikinya.
Mengapa tobat dapat disebut sakramen? Apa yang membedakan sakramen dengan perbuatan biasa kita sehari-hari? Dalam pengajaran Gereja yang mengadopsi filsafat Aristotelian, ada 2 unsur untuk dapat dinyatakan sebagai sakramen menurut Gereja, yaitu adanya materi dan forma. Materi adalah tanda atau perbuatan dalam hal ini materi sakramen tobat adalah dosa ringan dan dosa berat. Forma merupakan perkataan imam, dalam hal ini adalah “aku melepaskan engkau dari segala dosa…”. Suatu perbuatan (misalkan menuangkan air diatas kepala seorang yang bukan Kristen) tanpa adanya forma berupa kata-kata tersebut tidak akan membuat tindakan itu menjadi tindakan sakramental.
Ada 2 unsur dalam sakramen tobat yaitu tindakan (yaitu pertobatan, pengakuan dan penitensi) serta pengampunan dosa itu sendiri. Gereja mengenal ada 2 macam pertobatan yaitu; pertobatan sempurna dan tidak sempurna. Pertobatan sempurna merupakan sesal karena cinta pada Allah dan hal itu dapat menghapus dosa secara langsung. Pertobatan ini meskipun nampaknya seperti “penghapusan dosa instan”, namun dalam jati diri si pendosa itu sendiri selalu ada dorongan tulus untuk mengakukan dosa-dosanya, sehingga si pendosa sekalipun dosanya telah diampuni, ia akan pergi untuk mengakui dosanya di hadapan imam.
Sedangkan pertobatan tidak sempurna merupakan sesal dengan motif selain cinta pada Allah, contohnya adalah takut akan kematian dan ketakutan sesuatu hal buruk yang akan terjadi. Pertobatan seperti itu cukup memenuhi syarat dalam pengakuan dosa dan memperoleh pengampunan.
Segala dosa baik dosa berat (dosa yang dilakukan karena memenuhi kriteria: materi dosa berat, dilakukan dengan pengetahuan penuh, dan kesadaran penuh) maupun dosa ringan (dosa yang tidak memenuhi minimal satu kriteria tersebut) dapat dihapuskan.
Gereja menegaskan bahwa dosa berat merupakan dosa yang memutuskan hubungan manusia dengan Allah secara langsung yang menyebabkan manusia masuk ke dalam neraka apabila tidak dihapuskan. Contoh-contoh dari dosa ini sendiri adalah pembunuhan, aborsi, murtad, pornografi, masturbasi, perzinahan dsb. Beberapa dari dosa ini juga termasuk dosa yang menyebabkan kerugian materi dalam jumlah besar seperti korupsi yang dilakukan dengan memenuhi kriteria diatas juga termasuk dosa berat.
Sedangkan Gereja menegaskan apa yang disebut dosa ringan adalah dosa yang meski tidak langsung memutuskan hubungan dengan Allah namun dapat mencederai persahabatan dengan Allah serta perlahan mengarahkan pada dosa berat. Dosa ini umumnya adalah dosa yang tidak memenuhi satu atau lebih dari kriteria dosa diatas. Ada banyak contoh dosa-dosa kecil yang dapat dibandingkan dengan dosa berat, contohnya mencuri uang 10 ribu rupiah tidak akan seberat dengan mencuri 1 milyar rupiah.
Meski segala dosa dapat dihapuskan, pertobatan si pendosa tidak berhenti sampai terhapusnya dosa melainkan diikuti tindakan perbaikan yang merupakan bagian dari konsekuensi atas perbuatan dosa yang telah dilakukan. Apabila si pendosa telah merugikan materi berupa uang sejumlah tertentu, maka tindakan pengembalian uang adalah suatu perbuatan yang harus dilakukan si pendosa.
Lalu bagaimana apabila bila sampai akhir hidup nanti tindakan perbaikan tersebut tidak (selesai) dilakukan? Gereja mengenal adanya pemurnian bagi jiwa-jiwa yang telah meninggal dalam keadaan dosa ringan (tidak memiliki dosa berat) dan masih harus menerima konsekuensi penghukuman dari perbuatan dosa mereka sebagai “Api Penyucian”. Dalam api penyucian, seseorang dimurnikan agar layak tanpa dosa sekecil apapun masuk ke dalam surga.
Sebagai manusia, kita tidak tahu berapa lama seseorang hidup di Api Penyucian. Namun berkat kuasa yang diberikan Kristus atas Gereja, kita mengenal adanya “remisi” dari Gereja yang merupakan bentuk kemurahan hati Allah yang dapat diberikan bagi jiwa-jiwa malang ini agar penghukuman mereka di Api Penyucian dapat dipersingkat. “Remisi” ini dikenal sebagai “Indulgensi” yang dapat diperoleh lewat tindakan tertentu yang ditetapkan (Misal berdoa Rosario di dalam Gereja tertentu, Mengunjungi kubur pada tanggal 1-8 November, dll) dan harus melalui sejumlah tahap sebelum bertindak sesuai yang ditetapkan (seperti harus mengakukan dosa terlebih dahulu, berdoa Bapa Kami, Salam Maria, serta doa bagi Bapa Paus, menerima komuni, tidak boleh berdosa sama sekali selama pencapaian indulgensi dsb).
Lalu, seberapa sering sebaiknya seorang Kristen mengaku dosa? Gereja sendiri menetapkan paling tidak selama setahun minimal seorang Kristen mengaku dosa. Namun alangkah baiknya apabila frekuensi pengakuan dosa ditambah dan dirutinkan oleh setiap umat. Bukankah setiap dari manusia setiap harinya berbuat dosa? Lalu cukupkah kita mengaku dosa sekali dalam setahun saja? Para Paus dan Santo-Santa memiliki jadwal rutin dalam mengakui dosa-dosanya. Bahkan tercatat Bapa Paus yang menjadi gembala umat Katolik selalu rajin mengaku dosanya seminggu sekali! Hal tersebut bukan untuk sok suci atau pamer namun justru karena mereka mengakui diri adalah manusia lemah yang tidak luput dari dosa dan senantiasa membutuhkan kerahiman Allah. Seorang Kristen sejati, ia tidak akan menyombongkan dirinya “biar dosa itu urusan saya saja” namun ia akan dengan rendah hati mengakui keberdosaannya dan terus berusaha makin mendekat pada Allah. Semakin seorang berkomitmen untuk dekat pada Allah, semakin ia melihat betapa keberdosaan sekecil apapun merupakan hal yang harus dienyahkan. Maka, pengakuan dosa perlu serutin mungkin dan bagi kita menjadi olah rohani yang merupakan jalan menuju kesucian. Ketika keberdosaan memenuhi diri kita, ingatlah, Ia selalu menunggu lewat perantaraan imamNya untuk mengampuni kita.
Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan (Yakobus 5:16)