
Apakah aku sungguh mencintainya? Ataukah aku hanya bernafsu kepadanya?
Ringkasan dari Cangkibar (Cangkruk Iman Bareng ) Paroki Salib Suci Tropodo, 13 Juni 2015
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang tentu pernah mengalami Jatuh Cinta. Ketika seseorang mengalami jatuh cinta, biasanya ada perasaan bahagia, ingin selalu dekat bersama orang yang dicintai, rasa kangen dan lain-lain.
Namun terkadang, dalam perjalanan cintanya, seseorang dapat saja terjebak dalam hawa nafsu yang tidak sehat sehingga segala perasaan dan perbuatan yang diungkapkan dapat salah. Bagaimana kita tahu kita sunggguh mencintai orang yang menjadi obyek berbagi cinta kasih kita?
Untuk itu, sebagai orang Katolik, kita perlu melihat hubungannya dengan dekalog. Dekalog atau Sepuluh Perintah Allah sendiri menurut kisahnya merupakan hukum-hukum yang diturunkan bagi Allah untuk umat Israel. Tujuan dari pemberian hukum ini adalah agar umat Israel dapat taat dan hidup menurut kebaikan dan kehendak Allah. Dalam dekalog sendiri ada 2 hukum yang berkaitan dengan relasi cinta dan hawa nafsu yakni Perintah ke 6 (Jangan Berzinah) dan Perintah ke 9 (Jangan mengingini istri sesamamu).
Di dalam penerapannya, Perjanjian Lama lebih banyak membebankan praktek hukum tentang perzinahan ini kepada istri sedangkan suami adalah yang empunya hak terhadap istri. Perjanjian Baru memberi arti lebih bahwa baik istri maupun suami memiliki tanggung jawab apabila terjadi perzinahan. Gereja kemudian menjelaskan dalam Katekismus Gereja Katolik bahwa Perzinahan bagaimanapun juga merupakan tindakan yang menjauhkan kemurnian hati.
Gereja sendiri menggolongkan pelanggaran melawan kemurnian tersebut sebagai berikut:
a. Masturbasi : Tindakan pencapaian kenikmatan seksual dengan merangsang alat kelamin sendiri
b. Percabulan : Hubungan pria dan wanita yang tidak terikat perkawinan
c. Prostitusi : Penjualan jasa seksual demi uang
d. Homoseksualitas : Tindakan melawan kodrat sebagai seorang pria atau wanita
e. Pornografi : Penggambaran tubuh manusia untuk memuaskan nafsu sendiri
Lalu, apa sebenarnya Cinta dan Nafsu? Bagaimana kita tahu jika kita mencintai atau sekedar bernafsu pada seseorang?
Nafsu sendiri didefinisikan secara singkat sebagai perasaan emosional untuk bertindak. Secara moralitas sendiri, nafsu merupakan sesuatu netral. Bukan sesuatu yang baik namun bukan juga sesuatu yang buruk. Nafsu yang mengarah pada kebaikan akan membuat seseorang bertindak baik, dan sebaliknya juga nafsu yang mengarah pada keburukan akan membuat seorang bertindak buruk. Beberapa contoh nafsu adalah nafsu makan, nafsu seksual, nafsu untuk mendapatkan harta, dll. Semua hal tersebut tidaklah buruk bila digunakan semestinya.
Bagaimana dengan cinta? Cinta sendiri secara umum dikenal sebagai bentuk pengorbanan, saling menjaga satu sama lain, suatu proses, dsb. St. Thomas Aquinas (1225 – 1274), sang filsuf ternama Gereja, mendefinisikan proses cinta sebagai “menginginkan kebaikan bagi yang dicintai”. Bagi Katolik, cinta adalah pemberian Tuhan sendiri sebagai Sumber Cinta. Ia lebih dari sekedar rasa kagum pada seseorang, romantisme, seksualitas, atau bahkan hawa nafsu itu sendiri. Cinta melibatkan akal budi dan tanggung jawab seseorang kepada orang yang dikasihinya. Bila nafsu yang tidak sehat mengarahkan pada malapetaka, cinta yang sejati membawa orang pada kebahagiaan. Bila nafsu membawa pada penderitaan, cinta membawa pada kebahagiaan. Bila nafsu selalu merampas, maka cinta selalu memberi.
Beberapa kutipan Paus St. Yohanes Paulus II tentang Cinta dan Tanggung Jawab dalam bukunya “Love and Responsibility”:
1. ”Di dalam cinta ada tanggung jawab khusus – tanggung jawab untuk seorang pribadi yang ditarik ke dalam persekutuan yang paling dekat dalam kehidupan dan aktivitas orang lain, dan menjadi pihak yang memperoleh keuntungan dari hadiah diri/pemberian diri ini”
2. ”Semakin besar rasa tanggung jawab bagi pribadi lain semakin besar adanya cinta yang sejati”
3. “Kekuatan cinta muncul paling jelas ketika kekasih kita tersandung, ketika kelemahan dan dosanya menjadi terbuka. Seseorang yang sungguh mencintai tidak menarik cintanya, tapi semakin mencintainya, mencintai dalam kesadaran penuh akan kekurangan dan kesalahan yang lain, dan tanpa menyetujui kesalahan tersebut.”
4. “Tidak ada tempat bagi keegoisan dan rasa takut! Jangan takut, ketika cinta menyebabkan tuntutan. Jangan takut ketika cinta mengharuskan pengorbanan”
5. “Cinta sejati, cinta yang lengkap secara batiniah, ada ketika kita memilih seorang pribadi demi pribadi itu sendiri, dimana pria memilih wanita dan wanita memilih pria bukan hanya sebagai partner seksual, tapi sebagai pribadi yang kepadanya dilimpahkan hadiah kehidupannya sendiri”
6. “Cinta sejati itu menuntut. Aku akan gagal dalam misiku bila aku tidak memberitahu anda. Cinta menuntut sebuah komitmen pribadi terhadap kehendak Allah”
7. “Manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Ia tetaplah makhluk yang tidak dapat dimengerti oleh dirinya sendiri, kehidupannya tidak bermakna bila cinta tidak ditunjukkan padanya, bila ia tidak menemukan cinta, bila ia tidak mengalami cinta dan menjadikan cinta miliknya, dan bila ia tidak berpartisipasi secara intim didalamnya. Inilah alasannya mengapa Kristus Sang Penebus menyatakan diri-Nya secara penuh kepada manusia”
8. “Seorang pribadi yang tidak memutuskan untuk mencintai selamanya akan menemukan bahwa ia sangat sulit untuk sungguh mencintai bahkan untuk satu hari”
Beberapa kutipan lainnya dapat ditemukan di
https://luxveritatis7.wordpress.com/2012/02/14/14-kutipan-katolik-terbaik-edisi-valentine/