PENGANTAR
Sekitar masa Paskah, kata “Penebusan” adalah suatu kosa kata yang pasti sudah sangat akrab bagi umat Kristiani. Kata itu dipahami dalam konteks sosok “Yesus”, Sang Juruselamat. Namun seiring dengan berjalannya waktu, rupanya kata “penebusan” itu telah berkurang maknanya, setidak-tidaknya bagi sebagian umat yang ditebus.
Dan seiring dengan “berkembang-nya” kekristenan (terutama dengan munculnya sekte-sekte ataupun denominasi-denominasi), makna “penebusan” itu telah digerus hampir habis. Aneka macam kekristenan hampir seperti “supermarket” yang mena-warkan kebebasan dan / atau kenya-manan bagi “konsumennya”. Aneka macam ajaran dan teologi yang ada cenderung hanya menge-nal istilah “penebus” tanpa peduli akan hakikat penebusan itu, yang dengan demikian, tentu wajar bila kita mempertanyakan (kepada diri sendiri, introspeksi): apakah reaksi dan tanggapan kita terhadap “karya penebusan” itu sudah layak, sudah memadai . . . ?
Di lain pihak, khotbah-khotbah serta renungan-renungan tentang “Penebusan”, telah menjadi “seperti biasanya”, “memang harus seperti itu”, “kurang greget”, karena ritual dan peringatan Paskah cenderung hanya dijalankan sebagai suatu pesta, yang segera saja akan berlalu tanpa makna.
Tanpa menghayatinya, bagai-mana kita bisa menyadari, bahwa dengan penebusan itu Allah telah membuktikan kasih dan kesetiaan-Nya kepada manusia . . .?
PENEBUSAN DALAM TRADISI YAHUDI
Umat Yahudi mengenal 3 Hari Raya penting, yaitu: Hag Ha Syukot, Hag Ha Peshah dan Hag Ha Syafuot.
Ketiga Hari Raya tersebut, hari ini kita kenal dengan nama Hari Raya Pondok Daun (yang darinya kita kemudian mengenal Hari Minggu Palem), Hari Raya Paskah dan Hari Raya Pentakosta, tentunya dalam pemahaman yang dikaitkan dengan Yesus Kristus, Sang Mesias.
Peringatan Hari Raya Paskah Yahudi didahului dengan Hari Pene-busan (Yom Kippur), yaitu suatu peristiwa yang sangat mendebarkan bagi seluruh umat Yahudi.
Pada Hari Penebusan itu, seluruh kegiatan dan perhatian umat Yahudi diarahkan ke satu tempat: Bait Allah. Di Bait Allah itulah Sang Imam Besar berperan penting dan menjadi tokoh sentral, karena Sang Imam Besar itu menjadi perantara bagi umat Yahudi untuk memohon pengampunan ke-pada Allah atas segala dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Sang Imam Besar pula yang meng-hunjukkan persembahan bagi Allah, yang diantaranya adalah anak domba Paskah.
Pada hari Penebusan itu, di pintu Bait Allah diikatkan selembar kain merah (kirmizi), yang menjadi kunci jawaban atas permohonan pengam-punan bagi umat Yahudi.
Bila Allah berkenan mengampuni dosa umat Yahudi, maka kain merah itu berubah warna menjadi putih (bdk. Yes.1:18).
Ada suatu ritual penting dalam permohonan dan penebusan ini. Selain kain merah yang diikatkan pada pintu Bait Allah, selembar kain merah juga diikatkan pada tanduk seekor Kambing Hitam (disebut Azazel). Seolah-olah seluruh dosa umat Yahudi diletakkan dan dibeban-kan pada Azazel tersebut. Azazel itu akan dituntun (digiring) mulai dari Bait Allah sampai ke tepi tebing, dan akhirnya dilemparkan ke jurang (dan tentu saja azazel itu mati di dasar jurang).
Matinya Azazel itu dimaksudkan membawa seluruh kesalahan dan dosa umat Yahudi.
Catatan:
Sampai sekarangpun, dalam kehi-dupan sehari-hari, kita masih sering mencari “Kambing Hitam”, agar kita terbebas dari kesalahan, agar kita tetap bersih, agar nama baik kita tetap terjaga, agar belang-kesalahan kita tidak diketahui oleh orang lain, agar kita tetap tampak sebagai orang baik, orang suci, yang tetap harus dihormati.
—–
Namun, pada sekitar tahun 30 Masehi, kain merah (Kirmizi) di pintu Bait Allah itu sudah tidak lagi beru-bah menjadi putih. Hal ini dimaknai, bahwa sejak saat itu sudah tidak ada lagi penebusan a la Azazel.
Dan tentu bukan suatu kebetulan, bahwa saat itu bertepatan dengan peristiwa wafatnya Yesus di kayu salib.
PENEBUSAN OLEH YESUS, KORBAN YANG SEMPURNA
Kedatangan Sang Mesis ke dunia ini sudah banyak dinubuatkan oleh nabi-nabi. Yang paling jelas, adalah nubuat-nubuat dari Nabi Mikha, Zefanya, Zakharia, Yeremia, dan tentu saja Yesaya.
Nubuat-nubuat itu mengatakan akan tiba waktunya datang seorang Pembebas, seorang Penye-lamat, yaitu Sang Mesias, karena kasih dan kesetiaan Allah kepada umatNya.
Namun, umat Yahudi memaknai “Pembebasan” (Penyelamatan) itu lebih kepada pembebasan dunia-wi, yaitu terbebas dari kemiskinan, terbebas dari penderitaan, dan secara politis pembebasan dari penjajahan. Sedangkan nubuat nabi-nabi itu sebenarnya merujuk kepada suatu “pembebasan” yang lebih dari itu, yaitu suatu pembebasan yang sempurna, pembebasan umat manusia dari dosa-dosa, dengan mana manusia bisa memperoleh keselamatan yang sempurna dan abadi.
Namun, telah dinubuatkan oleh para nabi itu, Sang Mesias harus mengalami penolakan.
Ia harus mengalami penderitaan yang keji, sebelum akhirnya harus mati dibunuh.
Saat kain Kirmizi tidak lagi men-jadi merah bertepatan dengan “Pe-ristiwa Salib” di puncak Golgota, yaitu saat tertumpahnya darah Anak Domba Allah, yang bukan hanya menghapus dan mengam-puni dosa dan kesalahan umat Yahudi. Dosa-dosa dunialah yang ditanggungNya.
Kain Kirmizi sudah tidak lagi menjadi putih. Sang Imam Besar umat Yahudi sudah tidak berperan
lagi menjadi perantara bagi pene-busan dan pengampunan dosa.
Nubuat para nabi telah dige-napi, Hukum Taurat telah disem-purnakan, kasih-setia Allah kepada manusia telah dibuktikan.
Sudah tidak diperlukan lagi peran Imam Besar untuk menjadi per-antara penebusan dosa.
Peranan itu telah diambil-alih oleh Yesus, Sang Anak Manusia yang berasal dari Bapa sendiri. Dia-lah satu-satunya Imam Agung, yang membimbing manusia kembali kepada Allah.
Sudah tidak ada lagi kurban yang lain, karena Anak Domba Allah adalah kurban yang satu dan sem-purna.
Kurban dan peranan Imam Agung telah disatukan dalam diri Yesus Kristus.
Dia-lah Imam Agung, yang mem-bawa persembahan dan kurban kepada Allah demi pengampunan dosa manusia.
Dan Dia-lah kurban, yang dengan rela menumpahkan darah-Nya demi penebusan dosa umat manusia, melalui jalan derita via dolorosa, dan berakhir di Puncak Kalvari.
Azazel, si Kambing Hitam, di-giring menuju tebing dan berakhir binasa di dasar jurang.
Yesus, Sang Mesias, Anak Domba Allah, diarak sepanjang via dolorosa, dan berakhir mulia di Puncak Gol-gota.
Dia-lah, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkam diri-Nya sen-diri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. TANGGAPAN KITA . . . ?
Allah adalah Sang Pencipta.
Allah adalah Kasih.
Ia menciptakan, dan Ia mengasihi ciptaan-Nya.
Kejatuhan manusia dalam dosa tidak menyurutkan dan tidak mengurangi kasih-Nya.
Upah dari dosa adalah maut. Dosa membawa hidup manusia ter-pisah dari Allah.
Oleh karena itu, melalui para nabi, Ia telah mengajak manusia untuk ber-tobat, untuk kembali ke dalam Kasih dan kerahiman-Nya.
Namun nabi-nabi itu telah ditolak dan bahkan tidak jarang mereka mati terbunuh.
Dan itupun tidak mengurangi kasih-Nya. Sampai Ia mengutus Putra-Nya yang Tunggal, Sang Sabda untuk menjadi manusia. Agar melalui Sang Sabda itu, manusia dapat mengerti apa yang dikehendaki oleh Allah Bapa.
Namun, seperti nabi-nabi itu, Putra-Nya mengalami nasib yang sama. Ia-pun terbunuh.
Tapi darah-Nya yang tertumpah tidaklah sia-sia.
Dengan darah-Nya yang suci Ia telah membasuh dosa-dosa dunia.
Tapi wafat-Nya tidaklah sia-sia. Kematian-Nya telah menghancurkan kematian.
Ia-pun telah bangkit dan dengan demikian Ia telah memulihkan kehidupan.
Umat Yahudi telah gagal me-maknai “pembebasan”.
Cara pikir yang terlalu duniawi telah mengaburkan pandangan mereka, sehingga menganggap bahwa “pembebasan” itu adalah masalah duniawi semata-mata, terbebas dari beban dunia, terbebas dari penja-jahan, terbebas dari kemiskinan.
Penyakit yang demikianpun akan kita alami, bila kita mengukur segala sesuatu hanya dari sisi duniawi dan materi semata-mata.
Kitapun mungkin juga telah gagal memaknai “pembebasan”.
Padahal “pembebasan” yang dibawa oleh Yesus adalah pembebasan kita dari dosa-dosa dan beban derita jiwa kita, dari ancaman dunia yang serba tidak pasti, dari kebinasaan yang kekal.
Demi pembebasan umat manu-sia Ia telah dengan rela MENYANG-KAL DIRI-Nya.
Akankah kita hanya mengedepankan egoisme kita, seolah-olah itu adalah hak kita, karena kita adalah “anak Allah”?
Sepanjang jalan menuju puncak Golgota Ia telah rela MEMANGGUL SALIB. Beban dosa kitalah yang di-panggul-Nya.
Akankah kita hanya ingin menikmati kebebasan itu begitu saja?
Kapan kita mau, rela, dan berani memikul beban derita orang lain?
Ia telah membawa dan meng-ajak kita untuk berjalan di JALAN-Nya.
Akankah kita hanya menonton saja, dan enggan mengikuti-Nya melang-kah di JALAN-Nya?
Ia telah membawakan bagi kita KEBENARAN. Akankah kita bertegar-tengkuk dan berkeras kepala dengan kebenaran-kebenaran yang lain?
Dan Ia telah mengajak kita untuk menuju HIDUP yang sejati, hidup yang kekal.
Akankah kita, dengan nafsu dan pemikiran-pemikiran duniawi kita, tetap menolak mengikuti arah-Nya, sehingga kita tersesat, dan menuju kepada kebinasaan? DUNIA KITA SAAT INI
Hidup pada zaman ini, sungguh begitu banyak tawaran-tawaran kemudahan dan kenikmatan yang bisa kita pilih, termasuk dalam hal beriman.
Ada begitu banyak ajaran-ajaran (teologi, dll.) yang mengaburkan makna “keselamatan” dan “pene-busan”.
Mereka banyak berbicara dan menjanjikan “mujizat”, seolah-olah Yesus datang ke dunia ini hanya untuk menjadi “tukang membuat mujizat”. Mereka menjanjikan harta duniawi, seolah-olah banyaknya harta yang kita miliki menjadi tolok-ukur kasih Allah kepada kita.
Namun, sungguh ironis, tidak jarang kitapun terlena, dan ikut ambil bagian dalam tawaran-tawaran dunia yang memang sungguh menggiurkan itu. Kita seolah dipacu untuk menuntut hak kita, dan melupakan tanggung-jawab kita. Kita seolah sudah melupakan apa yang dikehendaki oleh Yesus, bila kita memang akan mengikuti Dia: Menyangkal diri dan memanggul salib.
Dalam ukuran pemikiran kita saat ini, apa yang diminta oleh Yesus dari kita memang tampak-nya sungguh berat.
Namun, bila kita setia berusaha untuk memahami kata-kata-Nya, tentu kita semakin lama semakin mengerti, bahwa itulah satu-satu-nya jalan keselamatan, yang akan membawa kita kepada “kebahagia-an” yang sejati. Imanlah yang akan membawa kita tetap setia mengikuti-Nya. DOAKU
Tuhan, berikanlah aku iman,
agar dengan akal budiku aku dapat mengerti kehendak-Mu, dan berikanlah aku akal-budi, agar aku dapat memiliki iman yang lebih baik. (SSA red)